mumtazanas.wordpress.com

antivirus, freeware, tips dan trik, seo, advertising

Imam Al Barbahari rahimahulloh


“Permisalan ahlul bid’ah adalah seperti Kalajengking, mereka sembunyikan kepala dan tangan-tangan mereka didalam tanah dan mereka keluarkan ekor-ekor mereka. Apabila mereka sudah merasa kuat, mulailah mereka menyengat. Demikian juga halnya ahlul bid’ah mereka sembuyikan diri-diri mereka di tengah-tengah manusia dan apabila mereka sudah kuat mulailah mereka meyebarkan (melancarkan aksi) apa yang mereka inginkan. [Al-Minhaj Al-Ahmad 3/37] 

Ini adalah sebagian ucapan Imam Al-Barbahari, seorang ulama besar terdahulu yang terkenal keras terhadap ahlul bid’ah dan dipuji oleh para ulama terkenal seperti Ibnu Katsir dan Ibnul Jauzi. 

Nama, Kunyah, dan Nasab

Beliau adalah Al-Imam Al-Hafidz Al-Mutqin Ats-Tsiqah Al-Faqih Al-Mujahid Syaikh Hanabilah sekaligus pemuka mereke pada masanya Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al-Barbahari, sebuah nama yang dinisbahkan kepada Barbahar yaitu obat-obatan yang didatangkan dari India.[1]

Tempat Kelahiran dan Tanah Air

Berkata Syaikh ArRadadi: “Tidak ada satu pun sumber (rujukan) yang berada di tangan kami yang menyebutkan tentang kelahiran dan pertumbuhan beliau. Hanya saja yang nampak bagi saya bahwa beliau dilahirkan dan tumbuh di Baghdad. Yang demikian itu dikarenakan di tempat itulah tersiar reputasi dan kemasyhuran beliau di kalangan masyarakat umum, terlebih lagi orang-orang khusus diantara mereka. Selain itu Al-Imam Al-Barbahari juga bersahabat erat dengan beberapa sahabat Imam AhlusSunnah wal Jama’ah yakni Ahmad bin Hanbal rahimahullah serta menimba ilmu dari mereka, sedangkan mayoritas mereka berasal dari Baghdad -sebagaimana yang akan datang penjelasannya-. Inilah diantara hal-hal yang menunjukkan bahwa beliau tumbuh di tengah-tengah alam yang penuh ilmu Sunnah yang sangat berpengaruh terhadap karakteristik kepribadiannya.” [Lihat kitab Thabaqat Al-Hanabilah (2/64)].

Berkata syaikh Al-Qahthani: “Imam Al-Barbahari bersahabat erat dengan beberapa sahabat Imam Ahmad rahimahullah diantaranya Imam Ahmad bin Muhammad Abu Bakar Al-Mawarzi salah seorang murid utama Imam Ahmad. Selain itu beliau juga bersahabat dengan Sahl bin ‘Abdillah At-Tustari, yang mana beliau meriwayatkan perkataan darinya: “Sesungguhnya Allah ‘aza wa jalla telah menciptakan dunia dan menjadikannya di dalamnya orang-orang bodoh dan para ulama, seutama-utama ilmu adalah yang diamalkan, semua ilmu akan menjadi hujjah kecuali yang diamalkan dan beramal dengannya adalah keindahan semata kecuali yang benar, dan amalan yang benar aku tidak memastikannya kecuali dengan istisna’ (pengecualian) masya Allah.” [Thabaqat Hanabilah (2/43)]. 

Kemuliaan, Keilmuan, dan Pujian Ulama terhadap Beliau

Berkata syaikh ArRadadi: “Imam Al-Barbahari adalah seorang Imam yang disegani, senantiasa berbicara dan mengajak kepada kebenaran serta seorang da’i yang senantiasa menyeru kepada Sunnah dan mengikuti atsar. Beliau memiliki kewibawaan dan kemuliaan disisi para penguasa. Majelis beliau makmur dengan halaqah hadits, atsar, dan fiqih serta dihadiri sebagian besar para Imam AhlulHadits dan Fiqih.”

Berkata Abu ‘Abdillah Al-Faqih: “Apabila kamu melihat seorang penduduk Baghdad mencintai Abul Hasan bin Basyar dan Abu Muhammad Al-Barbahari maka ketahuilah bahwa ia Shahibu Sunnah (orang yang mengikuti Sunnah)!” [Thabaqat Al-Hanabilah 2/58].

Berkata syaikh Al-Qahthani: “Para ulama ahli sejarah menyebutkan sebuah kisah yang menerangkan akan agungnya kemuliaan Imam Al-Barbahari. Pada suatu hari Qaramithah (salah satu sekte Syi’ah) merampok jamaah haji, maka bangkitlah Imam Al-Barbahari seraya mengatakan: “Wahai saudara sekalian! Bagi siapa saja yang membutuhkan bantuan sebesar seratus ribu dinar…(beliau ulangi 5 kali) datanglah kepadaku niscaya aku akan membantunya!

Berkata Ibnu Baththah: “Andaikata ada yang membutuhkan bantuan tersebut niscya akan beliau bantu.”

Berkata syaikh Ar-Radadi: “Adapun pujian ulama terhadap beliau banyak sekali, berkata Ibnu Abi Ya’la: “…Seorang syaikh, pemuka kaum pada masanya dan orang yang paling depan dalam mengingkari Ahlul Bid’ah serta menghadapi mereka dengan tangan dan lisan. Beliau terdepan di kalangan sahabat-sahabatnya, salah satu imam yang bijaksana dan penuh dengan hikmah, salah satu hufadz ilmu ushul yang mutqin serta salah satu orang yang tsiqah di kalangan mukminin.”

Berkata Imam Adz-Dzahabi dalam “Al-`Ibar”: “….Al-Faqih Al-Qudwah (panutan) syaikh Hanabilah di Irak baik ucapan, keadaan, maupun hafalan. Beliau memiliki kedudukan terhormat dan kemuliaan yang sempurna.”

Berkata Ibnul Jauzi: “…pengumpul ilmu, zuhud, dan sangat keras terhadap ahlul bid’ah.”

Berkata Ibnu Katsir: “Al-’Alim, Az-Zahid, Al-Faqih, Al-Hanbali, Al-Wa’idh (pemberi nasehat)…, sangat keras terhadap ahlul bid’ah dan maksiat. Beliau memiliki kedudukan yang tinggi yang sangat disegani oleh orang-orang khusus dan masyarakat umum.

Berkata Syaikh Al-Qahthani: “Diantara hal yang menunjukkan ketinggian kedudukan beliau adalah tatkala Abu ‘Abdillah bin ‘arafah yang terkenal dengan sebutan Nawthawaif meninggal pada bulan Shafar 313 H, yang mana jenazahnya dihadiri oleh segenap anak-anak dunia dan dien, majulah Imam AlBarbahari mengimani manusia. Pada tahun itulah bertambah harum nama dan kewibawaan Al-Imam Al-Barbahari, menjadi tinggi kalimatnya dan mulailah muncul sahabat-sahabat beliau sehingga mereka tersebar merata dalam mengingkari ahlul bid’ah. Telah sampai berita kepada kami bahwa Imam Al-Barbahari pernah melewati sisi barat kota, tiba-tiba saja beliau bersin. Maka dengan serempak para sahabat beliau mengucapkan “Yarhamukallah…”(semoga Allah merahmatimu) sehingga suara gemuruh mereka terdengar oleh Khalifah yang pada waktu itu sedang berada didalam rumah/istana-nya, khalifah pun bertanya tentang apa yang terjadi? Setelah diberitahukan khalifah memaklumi hal itu.” [Thabaqat Hanabilah 2/44] 

Sifat Zuhud dan Wara’

Berkata syaikh Al-Qahthani: “Imam Al-Barbahari sangat terkenal dengan sifat zuhudnya terhadap harta benda dan perhiasan dunia, zuhud orang yang menguasai dunia, akan tetapi dunia tersebut beliau letakkan di telapak tangan beliau. Adapun kecintaan terhadap Allah ‘aza wa jalla dan Rasul-Nya sholallohu ‘alaihi wasallam serta meninggikan al-haq berada didalam lubuk hati hatinya. Oleh karena itu ulama yang menulis biografi beliau menyebutkan bahwa beliau melepaskan warisan ayahnya sejumlah 70.000 dirham [Thabaqat Hanabilah 2/43] 

Murid-Murid Beliau

Berkata syaikh ArRadadi: “Banyak sekali penuntut ilmu yang menimba ilmu dan mengambil faedah dari Imam Al-Barbahari. Beliau rahimahullah adalah seorang panutan baik dalam tingkah laku maupun perkataannya. Diantara murid-murid beliau adalah:

  1. Al-Imam Al-Qudwah Al-Faqih Abu ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin Muhammad Al-‘Ukbari yang terkenal dengan Ibnu Baththah, meninggal pada bulan Muharram 387 H. [Lihat biografinya dalam Al-`Ibar 2/171 dan As-Siyar 16/529]
  2. Al-Imam Al-Qudwah yang berbicara dengan penuh hikmah Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al-Baghdadi Abul Husam bin Sam’un, pemberi nasihat, pemilik berbagai ahwal dan maqam, meninggal pada pertengahan Dzulqa’dah 387 H. [Lihat biografinya dalam Al-`Ibar 2/172 dan As-Siyar 16/505]
  3. Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syajarah Abu Bakar perawi kitab ini dari penulis.
  4. Muhammad bin Khalaf bin ‘Utsman Abu Bakar, berkata Al-Khatib Al-Baghdadi: “Berita yang sampai kepadaku dia adalah orang yang menampakkan kezuhudan dan kebagusan madzhab, hanya saja dia banyak sekali meriwayatkan hadits-hadits munkar dan batil.” [Lihat biografinya dalam Tarikh Baghdad 3/225 dan Al-Mizan 4/28]

Beberapa Kutipan Ucapan Beliau

Berkata syaikh Al-Qahthani: Berkata Imam Al-Barbahari: “Permisalan ahlul bid’ah adalah seperti Kalajengking, mereka sembunyikan kepala dan tangan-tangan mereka didalam tanah dan mereka keluarkan ekor-ekor mereka. Apabila mereka sudah merasa kuat, mulailah mereka menyengat. Demikian juga halnya ahlul bid’ah mereka sembuyikan diri-diri mereka di tengah-tengah manusia dan apabila mereka sudah kuat mulailah mereka meyebarkan (melancarkan aksi) apa yang mereka inginkan. [Al-Minhaj Al-Ahmad 3/37]

Dan diantara ucapan beliau yang sangat bermanfaat adalah: “Bermajelis untuk saling nasehat-menasehati membuka pintu-pintu faedah sedangkan bermajelis untuk berdebat menutup pintu-pintu faedah.”

Diantara syair yang beliau ucapkan:

Barang siapa yang qona`ah (merasa cukup) dengan bekalnya

Niscaya dia akan menjadi kaya dan hidup dengan penuh ketentraman

Aduhai, betapa indahnya sikap qona’ah. Betapa banyak orang yang rendah terangkat karenanya

 Jiwa seorang pemuda akan menjadi sempit apabila merasa butuh

 Andai saja ia mau mencari kemuliaan dengan Rabb-nya niscaya akan menjadi lapang

Tulisan-Tulisan Beliau

Berkata syaikh ArRadadi: “Para ulama yang menulis biografi beliau menyebutkan bahwa beliau memiliki karya tulis yang sangat banyak hanya saja tidak nampak bagi kami karya-karya beliau selain kitab ini.” 

Ujian yang Beliau Alami dan Kisah Wafat Beliau

Berkata Syaikh Al-Qahthani: “Imam ini (Al-Barbahari) mendapatkan ujian sebagaimana orang-orang shalih sebelumnya mendapat ujian. Ahlul bid’ah senantiasa menghembus-hembuskan kebencian terhadap beliau kedalam hati penguasa. Pada tahun 321 H, masa Khalifah Al-Qahir dan menterinya Ibnu Muqillah berusaha menangkap Imam Al-Barbahari sehingga beliau bersembunyi. Namun dia berhasil menangkap beberapa sahabat dekat Imam Al-Barbahari dan membuang mereka ke Bashrah. Namun kemudian Allah ‘aza wa jalla menghukum Ibnu Muqillah atas perbuatan yang telah ia lakukan, yaitu Allah ‘aza wa jalla membuat Khalifah Al-Qahir Billah menjadi marah kepada Ibnu Muqillah sehingga Ibnu Muqillah melarikan diri dan Al-Qahir memecat dia dari jabatan kementriannya serta membakar habis rumahnya. Hingga akhirnya ia tertangkap oleh Al-Qahir Billah pada tahun 322 H, kemudian ia diturunkan dari kekhalifahan dan dicukil kedua matanya hingga mengucur darah dari kedua matanya yang akhirnya ia buta.

Kemudian datanglah khalifah ArRadhi. Ahlul bid’ah pun senantiasa menyusupkan kebencian kedalam hati khalifah sehinggah diserukan di Baghdad: “Jangan sampai ada dua shahabat Al-Barbahari yang berkumpul!” Sehingga mereka (Imam Al-Barbahari dan para shahabatnya) kembali bersembunyi. Ketika itu, Imam Al-Barbahari singgah di arah barat kota di suatu tempat yang bernama Babul Muhawwil. Kemudian beliau pindah ke arah timur kota untuk bersembunyi hingga akhirnya beliau meninggal dalam persembunyiannya pada bulan Rajab 329 H, saat itu beliau berumur 97 tahun. Ada yang mengatakan juga bahwa beliau hidup selama 77 tahun dan pada akhir hayatnya beliau sempat menikah dengan seorang budak wanita.” [Thabaqat Hanabilah 2/44, Siyar A’lamin Nubala` 15/93, dan Al-Minhajul Ahmad 2/38]

Berkata syaikh Ar-Radadi hafidzahullah ta’ala menukil perkataan Ibnu Abi Ya’la dalam Thabaqat Al-Hanabilah, ia berkata: “Telah menghikayatkan kepadaku kakekku dan nenekku, keduanya berkata: “Dahulu Abu Muhammad Al Barbahari bersembunyi di tempat saudara wanita Tazun yang berada di arah timur kota di suatu tempat yang bernama Darbul Hammam jalan Darbus Silsilah. Beliau tinggal disana sekitar 1 bulan hingga beliau dijemput oleh ajal di tempat tersebut. Maka berkatalah saudara wanita Tuzun tersebut kepada pembantunya: “Al-Barbahari telah meninggal, carilah siapa kira-kira orang yang bisa memandikannya?!” Tak lama kemudian pembantu tadi datang dengan orang yang akan memandikannya. Kemudian beliau pun dimandikan. Setelah itu pembantu tersebut mengunci seluruh pintu hingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya lantas ia berdiri menshalatkan jenazah Al-Imam Al-Barbahari sendirian. Ketika pemilik rumah tersebut mengintip, dia melihat ruangan tersebut telah dipenuhi oleh laki-laki yang mengenakkan pakaian bewarna putih dan hijau. Tatkala telah salan pembantu tadi tidak melihat seorangpun. Wanita pemilik rumah tersebut lantas memanggilnya seraya mengatakan: “Ya Hijam, kamu telah membinasakanku dan saudaraku!” Maka pembantu tadi menjawab: “Wahai nyonya bukankah nyonya melihat sendiri (apa yang telah aku lakukan)?” “Ya!” jawab si pemilik rumah. Lalu pembantu tadi berkata: “Ini semua kunci-kunci pintunya, semua tertutup.” Maka tuan wanita berkata: “Kuburkan dia di rumahku, apabila aku mati kuburkanlah aku disisinya…!”

Dengan demikian wahai saudara pembaca sekalian usai sudah biografi Imam Al-Barbahari rahimahullah yang tidak lain semua itu menunjukkan tingginya kemuliaan dan kedudukan beliau diantara ahlul ilmi. Untuk menambah wawasan tentang kisah perjalanan beliau rahimahullah silahkan merujuk sumber-sumber yang telah disebutkan oleh Syaikh ArRadadi hafidzahullah ta’ala berikut ini yang semoga bisa membangkitkan semangat untuk meneladani tingkah dan perilaku beliau baik yang berupa ilmu dan amal shalih maupun sikap zuhud terhadap dunia yang diberikan oleh Allah kepadanya serta sikap beliau yang mengedepankan sesuatu yang kekal daripada yang akan lenyap.

Akhirnya kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala semoga melimpahkan keluasan karunia dan rahmatNya kepada beliau dan seluruh ulama Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah tiada serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan hingga tegaknya Hari Pembalasan.

  1. Thabaqat AlHanabilah, Ibnu Abi Ya’la (2/18-45)
  2. Al-Muntadham, Ibnul Jauzi (14/14-15)
  3. Al-Kamil fit Tarikh, Ibnul Atsir (8/378)
  4. Al-`Ibar fi Khabari man Ghabar, Adz Dzahabi (2/33)
  5. Siyar A’lamin Nubala`, Adz-Dzahabi (15/90-93)
  6. Tarikhul Islam, Adz-Dzahabi (Hawadits wa wafyiat 321-330 H, hal 258-260)
  7. Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir (11/213-214)
  8. Al-Wafiy bil Wafiyat, Ash Shafadi (12/146-147)
  9. Mir’atul Janan, Al Yafi’i (2/286-287)
  10. Syidzaratu Adz Dzahab, Ibnul ‘Imad (2/319-323)
  11. Al-Minhajul Ahmad, Al-‘Alimi (2/26-39)
  12. Al-Maqashidul Arsyad, Ibnu Muflih (1/228-230)
  13. Al-Manaqib Al-Imam Ahmad, Ibnul Jauzi (hal 512-513)
  14. Jam’ul Juyusy wad Dasakir ‘ala Ibni ‘Asakir, Yusuf Ibnu ‘Abdil Hadi (Lam/81 Ba’)
  15. Al-A’lam, Az-Zarkali (2/201)
  16. Mu’jamul Mu’allifiin, Ridha Kahalah (3/253)
  17. Tarikh At-Turats Al-‘Arabi, Sazkin (1/234-235)

Dikutip dari buku Penjelasan Syarhus Sunnah Imam Al Barbahari Meniti Sunnah ditengah badai fitnah karya Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi (buku 1), penerbit Maktabah AlGhuroba` hal 25-33 dengan sedikit perubahan.


[1] Berkata Syaikh ArRadadi: “Lihat dalam penisbahannya “AlAnsab” karya AsSam’ani (1/307) dan “AlLubab” karya Ibnu Atsir (1/133)”.

3 responses to “Imam Al Barbahari rahimahulloh

  1. QUBURY TOBAT Agustus 22, 2013 pukul 3:12 +07:00

    HANYA SEBUTIR DEBU……

  2. Pingback: Imam Al Barbahari rahimahulloh « Kaahil (كـَاهِـلْ)–Dokter Pengobatan Nabawi–

  3. hendriawan muhammad mundziri Juli 4, 2007 pukul 3:12 +07:00

    Membaca Salafi, Wahabi dan Khawarij
    Friday, June 23 2006

    Oleh: Muchtar Luthfi

    Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat (baca: sufi-ed) yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.
    Tanggapan: Istilah putus asa dirasa kurang tepat untuk dipakai, bagaimana jika dikatakan sebuah kesungguhan dalam memecahkan problematika ummat. Putus asa=lari dr masalah tanpa solusi. Kesungguhan=mencari solusi dr masalah. Bagaimana ketika Rasulullah shalallohu ‘alaihi wasallam yang hidup di zaman Jahiliah beliau merasa prihatin dengan kaumnya, dan ketika beliau datang dengan Islam serta merta kafir Quraisy mengatakan bahwa Muhammad telah gila.
    ————————————————————–
    AKHIR-AKHIR INI, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh. Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.
    Jika kita melihat ma’had-ma’had (pondok) Salafy di Indonesia tentu kita akan merasa kekaguman atas kesederhanaan-nya. Silahkan bersilaturrahmi sekaligus menimba ilmu disana.

    Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka. Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.

    DEFINISI SALAFI
    Jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.[2] Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.[3]
    Jadi, salafi adalah kelompok yang mengaku sebagai pengikut pemuka agama yang hidup dimasa lalu dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.[4] Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.[5] Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad ke-empat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.[6]

    Pada hakekatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pamuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia. Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud -yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyak bumi.
    Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain diluar wilayah Saudi.[7]

    Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran.
    Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hambaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy”. Sayyid as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hambali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hambali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesan celaan”. Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: “Pada hakekatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah.
    Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hambali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah”. Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan:
    “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hambali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hambali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hambali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka”.[8] Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi (pembenci keluarga Nabi saw), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.
    Istilah Wahabi populer krn julukan orang. Krn di dalam buku Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah tidak ada ajaran untuk mengatakan ini adalah Wahabisme. Sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani yang menamai Islam sebagai Muhamadi (pengikut Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam) dalam rangka mengkesankan kejelekan.

    PELOPOR PEMIKIRAN “KEMBALI KE METODE AJARAN SALAF”
    Ahmad bin Hambal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hambali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hambal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama. Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain yang dianggap ajaran diluar Islam yang kemudian diadobsi oleh sebagian muslim- akan membahayakan nasib teks-teks agama.

    Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hambal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini”.[9] Konsekwensi dari ungkapan Ahmad bin Hambal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya -termasuk Ibnu Taimiyah- terjerumus kedalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyah al-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.
    Sangat aneh dengan istilah ‘mengingkari scr total penggunaan akal dalam memahami agama’, lalu dengan apa kita memahami agama? Bukankah akal digunakan untuk berpikir? Tepatnya bahwa akal tidak dijadikan sebagai pengukur benar/tidak suatu hukum. Sbgmn ucapan sahabat ‘Ali rodliallohu ‘anhu barang siapa yang menganggap agama ini disandarkan kepada akal manusia tentulah bagian bawah khuf (sepatu/yang menutup mata kaki) yang lebih pantas untuk dibasuh tetapi Rasulullah memerintahkan untuk mengusap bagian atas khuf.
    Jika suatu syariat dianggap tidak masuk akal maka tidak boleh ditolak.

    Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hambal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia”, “Tuhan bisa dilihat”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya kedalam Neraka” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hambal) menjawab:
    “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan”.[10]

    Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.[11] Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”,[12] atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam”[13], lantas, disisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”.[14]
    Apakah ayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arsy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas. Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakekat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslimin pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.
    Termasuk aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah mensifati dan menamai Allah dengan apa2 yang Allah turunkan dalam AlQuran dan AsSunnah tanpa tahrif, ta’thil, tamtsil, dan takyif. Tahrif: memalingkan makna dlohirnya. Ta’thil: menolak makna yang sebenarnya. Tamtsil: menyerupakan dengan makhluk. Takyif: membayangkan kaifiyah-nya/ujud-nya. Antara ayat-ayat dalam AlQuran dan hadits-hadits tidak saling bertentangan, begitu pula dalam masalah pensifatan Allah sesuai kontekstual dan keterangan hadits. Spt sifat ‘Tangan’ bagi Allah apakah ini berarti menyerupakan dengan manusia? Bagaimana dengan sifat Penyayang, sifat Hidup, dan sifat2 yang lainnya? Bukankan itu juga menyerupai manusia?. Diantara makhluk spt kaki manusia dengan kaki gunung atau kaki meja, namanya sama tapi bentuknya berbeda. Apalagi antara makhluk dan khalik tentu akan jauh berbeda. Jika kita menolak atau mengartikan lain sifat ‘Tangan’ bg Allah harus ada dalil yang menerangkan, jika tidak, sama saja kita menganggap bahwa kita mengetahui dlohirnya Allah atau kita terlalu berani untuk mengartikan dengan yang lain. Spt jika kita mengartikan ‘Tangan’ dengan ‘Kekuasaan’, bukankan manusia juga punya kekuasaan?

    Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hambal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi. Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan:
    “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat)dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama. Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah. Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, mereka telah terjerumus kedalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri”.[15] Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahn-permasalahan lainnya.
    Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat.
    Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.[16] Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri, termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hambal sendiri.[17]

    FAKTOR MUNCULNYA KELOMPOK SALAFI
    Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

    Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan factor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu “yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hambal- adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis.
    Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah kelimuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali kepemikiran Salaf.[18] Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.

    Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah dizamannya.
    Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hambal.
    Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hambal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu. Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutan
    Ahlusunnah pun akhirnya didentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor dimata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hambal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab imam Ahmad bin Hambal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah) -yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- serta tindakan arogansi yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kalompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.
    Kebenaran tidak bisa diukur dari sedikit banyak pengikutnya sbgmn dalam hadits disebutkan nanti di akhir zaman akan dibangkitkan Nabi dan Rasul beserta pengikutnya. Ada nabi beserta 2 org pengikut, ada nabi dengan 1 pengikut, dan ada nabi yang sama sekali tidak punya pengikut.

    KECURANGAN KELOMPOK SALAFI
    Setiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya. Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrik adalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Disisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengkafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah. Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca shalawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelas konsekwensi hukumnya dalam ajaran Islam.
    Bagaimana dengan Syiah? Mmg Syiah sendiri bermacam-macam yang paling ekstrimnya adalah Rafidloh dan mereka ini sepakat ulama ahlul hadits untuk meninggalkan hadits2 dr mereka. Syiah yang lain ada yang menuhankan ‘Ali, ada yang AlQurannya berbeda, ada yang meninggalkan sholat ‘Ashr, posisi Imam (Khumaini) adalah maksum (terbebas dr kesalahan), perayaan meratapi kematian Hasan dan Husein, thowaf di atas kuburan, dll
    Singkat kata, kebencian itu bukan hanya dilancarkan kepada Ahlusunnah, namun terlebih pada kelompok Syiah. Kebencian kaum Salafi terhadap Syiah, bahkan dilakukan dengan cara-cara tidak ilmiah bahkan cenderung arogan dan premanisme, sebagaimana yang dilakukannya di beberapa tempat.
    Mereka tahu bahwa kelompok Syiah sangat produktif dalam penerbitan buku-buku, terkhusus buku-buku agama. Karya-karya ulama Syiah mampu mengikuti perkembangan zaman dan dapat memberi masukan dalam menyelesaikan problem intelektual yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Ulama Syiah mampu mengikuti wacana yang sedang berkembang, plus cara penyampaiannya pun dilakukan dengan cara ilmiah. Hal itulah yang menyebabkan kecemburuan kelompok Salafi terhadap Syiah kian menjadi. Akhirnya, sebagai contoh perbuatan licik yang mereka lakukan, sewaktu diadakan pameran Internasional Book-Fair di Mesir, dimana kelompok Syiah pun turut memeriahkan dengan membuka beberapa stand di pameran tersebut, melihat hal itu, kelompok Salafi (Wahabi) memborong semua kitab-kitab Syiah di stand-stand yang ada, yang kemudian membakar semua kitab yang dibelinya.[19]

    Jika mereka berani bersaing dengan kelompok Syiah dari sisi keilmiahan, kenapa mereka melakukan hal itu? Perlakuan mereka semacam itu sebagai salah satu bukti kuat, bahwa mereka tidak terlalu memiliki basis ilmiah yang cukup mumpuni sehingga untuk menghadapi Syiah, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali harus menggunakan cara-cara emosional yang terkadang cenderung arogan itu. Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.

    Segala bentuk makar dan kebohongan untuk mengahadapi rival akidahnya merupakan hal mubah dimata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.

    Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi “yang didukung dana begitu besar- berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standart Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standart ajaran “termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir- mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk merubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka. Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Merubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah merubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsir beliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hambali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali. Kitab Syarah Shohih Muslim pun (telah dirubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali.[20]

    Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).

    Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat, disitu, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah. Dalam hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah diantara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini -risalah- maka akan menjadi saudaraku (kadza wa kadza)…”.
    Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam tarikh at-Thabari kata kadza wa kadza (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi; Washi (pengganti) dan Khalifah-ku. Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliau nukil dari Shohih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus. Melakukan peringkasan kitab-kitab standard, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama. Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:
    “Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rofidhi”.[21]
    Wallahu a’lam terhadap nukilan ini, tetapi kebanyakan perkataan Imam Syafi’i adalah benci terhadap Rofidli.

    SALAFI (WAHABI) DAN KHAWARIJ

    Tidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi.
    Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Disini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw, dimana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan ‘mariqiin’, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.[22]

    Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekwensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam mensifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.[23] Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim. Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.
    Sesuatu amalan ibadah yang tidak ada dalilnya maka termasuk bid’ah

    Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan,[24] maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan dibeberapa tempat, terkhusus diwilayah Hijaz dan Iraq kala itu.
    Wallahu a’lam, kisah ini diambil dr sejarahwan kafir yang tidak dikenal.

    Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.
    Pelaku dosa besar tidak kafir menurut pemahaman Salafush Sholih

    Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.

    Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan Bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas temggorokan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluarnya (lepas) anak panah dari busurnya. Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala”.[25] Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.[26] Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai goncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah”.[27] Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Disana akan muncul qorn setan. Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.[28] Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi. Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan kesegala penjuru dunia.
    Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.
    Disini terlihat siapa yang mengkafirkan…, celana/gamis sampai ke betis adalah sunnah, memelihara jenggot adalah sunnah.

    Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut. Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi “seperti al-Qaedah- melakukan aksi teror diberbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.
    Bukankan Wahabi gencar memerangi pemikiran Khawarij dan Al-Qaeda serta Usamah bin Laden?

    Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.

    Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomaini Qom, Republiks Islam Iran.

    Rujukan:
    [2] Lisan al-Arab Jil:6 Hal:330
    [3] As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Hal:9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi
    [4] As-Shohwat al-Islamiyah Hal:25, karya al-Qordhowi
    [5] Al-Aqoid as-Salafiyah Hal: 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi
    [6] Al-Madzahib al-Islamiyah Hal:331, karya Muhammad Abu Zuhrah
    [7] Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud”. Karya ini berulang kali dicetak. Disitu dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab.
    [8] Selengkapnya silahkan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali as-Saqqaf, cet: Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania
    [9] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:165, karya as-Syahrastani
    [10] Fi Aqo’id al-Islam Hal:155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya)
    [11] Ayat-ayat al-Quran yang bebunyi afalaa ta’qiluun (Apakah kalian tidak memakai akal) atau Afalaa tatafakkarun (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran. Ini semua salah satu bukti konkrit bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui keturutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.
    [12] Q S Thoha:5
    [13] Al-Washiyah al-Kubra Hal:31 atau Naqdhu al-Mantiq Hal:119 karya Ibnu Taimiyah
    [14] Q S as-Syura:11
    [15] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:84
    [16] Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun paea kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa disamping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majlis fatehah) semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal tadi.
    [17] Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran imam Ahmad bin Hambal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul, yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab musnadnya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib. (lihat: Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:329) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah (lihat: Jil:4 Hal:682), dan ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?
    Silahkan baca kitab2 ‘ulama Salafy! Bagaimana perlakuan kita terhadap Ahlul Bait (Keluarga Nabi) dan ‘Ali radliallohu ‘anhu.
    [18] al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hambal Hal:38
    [19] As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah Hal:680
    [20] Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah Hal:249
    [21] Diwan as-Syafi’i Hal:55
    [22] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:118
    [23] Sohih Bukhari Jil:4 Hal:197
    [24] Majmu’ al-Fatawa Jil:13 Hal:32, karya Ibnu Taimiyah
    [25] Shahih Bukhari, kitab at-Tauhid Bab:57 Hadis ke-7123
    [26] Irsyad as-Saari Jil:15 Hal:626
    [27] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:81 atau Jil:4 Hal:5
    [28] Al-Qomuus Jil:3 Hal:382 kata: Qo-ro-na

    Tulisan tebal adalah dari saya sedangkan tulisan yang tipis dari komntator

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.